Kamis, 24 Desember 2009

Pena Hati


Karena belum tentu semua manusia dipercaya dan sebagian berkata bahwa pena dan kertas mampu mengusir duka terdalam dalam relung jiwa”

Wanita sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupannya, baik di lingkungan rumah tangga maupun keluarganya. Hal ini telah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain :perkawinan paksa, poligami tanpa persetujuan istri, perceraian sepihak tanpa ada keadilan bagi si istri dan anak, eksploitasi wanita sebagai objek seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT inilah yang menjadi bagian terbesar dalam tindak kekerasan pada wanita yang dilaporkan. Pada umumnya masyarakat menganggap KDRT merupakan masalah pribadi yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain. Namun karena jumlahnya besar dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) maka KDRT harus ditanggulangi.
Kita bukan manusia buta dan tuli, sehingga kuharap telinga dan hati kita tidak kebal menghadapi segala bentuk permasalahan yang tentu saja mengiris relung kemanusiaan kita. Bagaimana seorang TKW disiksa dan setelah pulang menjadi gila, atau seorang suami yang tega dengan santainya menyiramkan air panas di tubuh istrinya sendiri. Mari kita rasakan penderitaan mereka dan menulis sebait solusi.
kami menawarkan alternatif solusi yang dapat membantu menangani stres atau gangguan jiwa. Yaitu dengan terapi menulis, tentunya hal yang sangat mudah dilakukan. Bisa menggunakan media kertas, elektronik atau menyempatkan menulis peristiwa dalam buku harian. Karena dengan menulis kita dapat meluapkan semua uneg-uneg tanpa harus takut ada yang mengetahui. Mengungkapkan apa yang belum berani kita ungkapkan, dan menyuarakan nyanyian dalam hati kita.

Menurut Karen Baikie, seorang clinical psychologist dari University of New South Wales, menuliskan peristiwa-peristiwa traumatik, penuh tekanan serta peristiwa yang penuh emosi bisa memperbaiki kesehatan fisik dan mental. Dalam studinya, Baikie meminta partisipan menulis 3-5 peristiwa yang penuh tekanan selama 15-20 menit. Hasil studi menunjukkan, mereka yang menuliskan hal tersebut mengalami perbaikan kesehatan fisik dan mental secara signifikan dibandingkan dengan mereka yang menulis topik-topik yang netral. Masih menurut Baikie, terapi menulis ekpresif ini akan meningkatkan kadar stres, mood negatif, gejala-gejala fisik, serta penurunan mood positif di tahap awal. Akan tetapi, terang dia, dalam jangka panjang, banyak studi yang telah menemukan bukti mengenai manfaat terapi menulis bagi kesehatan. Para partisipan melaporkan merasa lebih baik, secara fisik maupun mental. Sementara itu: menulis, terang peneliti James Pennebaker dari Universitas Texas, bisa memperkuat sel-sel kekebalan tubuh yang dikenal dengan T-lymphocytes. Pennebaker meyakini, menuliskan peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan akan membantu Anda memahaminya. Dengan begitu akan mengurangi dampak penyebab stres ini terhadap kesehatan fisik Anda.

Adapun manfaat dari menulis menurut penulis Ikarowina Tarigan adalah :
1. Menjernihkan pikiran dan perasaan
Bila seseorang sedang mengalami keterpurukan maka luangkan waktu beberapa menit saja untuk menuliskan semua pikiran-pikiran dan emosi. Tidak perlu di edit, dan rasakan apa yang terjadi. Seseorang akan semakin mengenal internal dirinya dan merasa lebih baik.
2. Mengenal diri lebih baik
Dengan menulis secara teratur, seseorang akan lebih memahami apa yang membuatnya gembira dan percaya diri. Seseorang juga akan semakin memahami situasi dan orang-orang yang bisa meracuni dirinya. Informasi ini akan sangat penting bagi kesehatan emosional seseorang.
3. Mengurang stres
Menulis mengenai kemarahan, kesedihan serta emosi menyakitkan lainnya bisa membantu meredakan intensitas perasaan negatif itu sendiri. Dengan begitu, seseorang akan merasa lebih tenang dan tetap manjalani hidup dengan lebih baik.
4. Memecahkan masalah lebih efektif
Biasanya kita memecahkan masalah dengan menggunakan otak kiri, perspektif analitis. Tapi, kadang-kadang kita bisa menemukan jawaban dengan melibatkan kreativitas dan intuisi otak kanan. Menulis akan membuka kemampuan-kemampuan lainnya dan memungkinkan hadirnya solusi baru yang bisa memecahkan masalah.
5. Mengatasi kesalahpahaman dengan orang lain
Ketidaksepahaman yang tidak bisa dipecahkan dengan kata-kata ucapan bisa diselesaikan melalui tulisan. Dengan menulis, seseorang akan lebih bisa memahami poin masing-masing. Dengan begitu, seseorang bisa menemukan resolusi yang lebih tepat.
Lalu apa yang kita tunggu, mungkin artikel semacam ini ribuan dan ini hanya tentang sebuah coretan yang tak berguna. Tapi bukankah ini tentang sebuah rasa. Bagimana kita manusia diajak untuk sling berbagi bahagia dan sukur-sukur mau berbagi duka.

Empat tahun silam, saya terkapar sakit selama kurang-lebih tiga bulan. Kondisi saya begitu lemah, bahkan lebih parah daripada sewaktu keguguran, sehingga saya merasa sulit untuk bertahan dan hampir menyerah. Seorang kerabat dekat berkata, “De, kalo kamu punya beban pikiran atau masalah..jangan dipendam. Tulis buku harian, tuangkan isi hati kamu lalu robek-robek biar nggak ada yang tahu.” Buku harian, yang sempat menjadi sahabat karib saya semasa remaja, raib dari kehidupan saya setelah menikah. Bukan salah suami, ia tak pernah melarang saya sedikit berahasia dan berusaha menampung segala keluh-kesah setiap saat. Bukan pula salah rutinitas perkawinan. Saya hanya mengira tidak membutuhkan jurnal lagi. Saya gemar menulis surat pada diri sendiri. Tak ada yang hilang sampai sekarang. Bahkan, seperti kata dokter James W. Pennebaker dalam Ketika Diam Bukan Emas, saya merasa jauh lebih baik. Manfaat yang menjadikan saya kian cinta menulis ini membuat saya tak terlalu sulit merenungkan apa yang ingin saya tuturkan. Apapun bentuknya, menulis adalah sebentuk pembebasan jiwa dari tekanan-tekanan dan kepahitan yang tertelan di masa lalu. Alhamdulillah, suami sangat mendukung. Ia lebih suka saya menulis daripada minum obat-obatan yang jelas sudah mengikis ketahanan fisik saya. Dengan menulis, saya tak lagi kesepian. Saya dapat berbincang dengan diri sendiri kala suami tidak dapat mendampingi. Gangguan lambung kronis yang saya derita pun sudah jarang kambuh, kecuali bila terjadi kejutan-kejutan psikologis di luar kendali saya.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Best view with Mozilla Firefox